Penulis : Zainul Abidin - Geografi 2017
Pada
tahun 1800-an, minuman dingin menjadi salah satu sajian mewah yang hanya dapat
dinikmati oleh beberapa keluarga Belanda yang tinggal di kawasan Meester
(sekarang dikenal dengan Jatinegara) dan Weltevreden (sekarang disebut dengan
Sawah Besar).
Kala
itu, es batu disajikan
sebagai pelengkap minum bir. Berdasarkan pemberitaan Harian
Kompas pada
19 Juni 1972, es pertama kali masuk ke Indonesia pada 1846 dan membuat
kehebohan saat itu.
Pada
18 November 1846, surat kabar Kavasche Courant memberitakan bahwa tanggal
17 November 1846, sebuah kapal besar dari Boston, Amerika Serikat, membawa
es yang yang dipesan oleh Roselie en Co. Kabar ini menyebar hingga ke
Benteng Batavia setelah adanya pemberitaan tersebut.
Kabar
ini membuat pihak Bea Cukai menjadi sibuk karena mereka belum mempersiapkan
aturan mengenai impor es batu. Semua orang
yang membicarakan tentang es baru menyebutnya sebagai batu-batu putih sejernih
kristal. Menurut mereka, es yang dipegang dapat membuat tangan menjadi
kaku.
Tak
lama setelah masuknya es batu ke
Indonesia, muncul sebuah iklan di mana Roselie en Co menjual es tersebut dengan
harga 10 sen setiap 500 gram. Es dianggap sebagai barang impor yang berharga
dari Amerika, karena itu dalam penyimpanannya harus diperhatikan agar tidak
mencair. Bahkan surat kabarJavasche Courant sempat
menayangkan sebuah artikel tentang cara menyimpan es batu, yakni dengan
dibungkus selimut wol.
Masuknya
es ke Indonesia saat itu dianggap sebagai peluang bagi para pelaku bisnis.
Beberapa restoran juga mulai menyediakan sajian minuman air dengan es. Melihat
situasi ini, perusahaan Djakarta Firms Voute en Gherin pun memanfaatkannya
dengan menjual selimut wol yang dapat digunakan untuk menyimpan es.
Selain
itu, seorang pengusaha, David Gilet, juga menyatakan bahwa dirinya
sanggup menyediakan air es untuk berbagai pesta dengan biaya 15 gulden. Seiring
perkembangannya, es batu diketahui
dapat menjadi obat sariawan. Bahkan, saat itu pemerintah Hindia Belanda juga
memberikan bonus sebesar 6.000 gulden - mata uang belanda - untuk
mereka yang dapat mengirimkan es batu ke
rumah sakit di Batavia.
Es
tersebut akan digunakan untuk mengobati tentara Belanda yang terkena sariawan.
Sementara itu, untuk Surabaya dan Semarang, pemerintah Hindia Belanda akan
memberikan bonus sebesar 7.300 gulden. Kegiatan impor es dari Amerika ini
berlangsung hingga 1870. Setelah itu, sudah ada pabrik es di Batavia. Pabrik es semakin bermunculan 10 tahun
kemudian dan berdiri di berbagai daerah. Di batavia, pabrik es berdiri
di Molenvliet (Jalan Gadjah Mada dan Jalan Hayam Wuruk) dan kawasan
Petojo.
Pada
1895, Kwa Wan Hong, seorang pengusaha Tionghoa yang lahir di Semarang,
mendirikan pabrik es batu di
Semarang. Tidak hanya itu, pabrik es juga berdiri di Tegal, Pekalongan,
Surabaya, dan Batavia.
Komentar
Posting Komentar