Langsung ke konten utama

[LISIGER AGUSTUS SPECIAL] GEOGRAPHICA & Menyoalkan Dialektika Ilmu Geografi

Penulis : Gilang Wijanarko - Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta 2016



Ilmu pengetahuan adalah segala hal yang bersifat dialektika. Terdapat kecenderungan untuk berubah dan menyesuaikan. Heraclitus (532 SM – 475 SM) menyebut istilah dialektika sebagai panta rhei, sebuah metafor yang menjelaskan bahwa segala hal material berubah secara kontinu, tidak hanya materi berupa sistem di alam, melainkan manusia yang hidup di dalamnya (Savenije, 2015). Terdapat peribahasa terkenal yang diinventariskan oleh Heraclitus bahwa: tidak ada manusia yang menginjakkan sungai yang sama dua kali, karena pada injakkan kedua, sungai tersebut sudah bukan sungai yang sama begitu juga orang yang menginjaknya. Begitulah ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia. Tidak ada yang bersifat absolut, melainkan sebuah aliran sungai yang senantiasa berubah sepanjang waktu, dan juga dengan manusia tersebut yang berubah secara kultural dan sosial. Sedangkan dialektika adalah cara manusia untuk menanggapi gejala tersebut. Sebagai suatu proses untuk menolak ke-absolutis-an argumen, baik argumen sendiri maupun argumen orang lain kepada dilema, paradoks, atau kontradiksi.

Dialektika sebagai suatu bagian kajian bidang ilmu, secara legal dikembangkan oleh George Wilhem Frederich Hegel (1770 – 1831) yang terkenal dengan trinitas dialektika. Dialektika merupakan sebuah aktivitas sadar untuk menempatkan sebuah realitas objek pada tampat yang tepat dan dikonsepsikan secara rasional dalam keseluruhan. Hegel beranggapan bahwa objek-objek yang tampaknya independen terpikirkan sebenarnya tidak independen, dan hanya mewakili sebagian dari keseluruhan. Berangkat dari hal tersebut sehingga dialektika Hegel terdiri dari 3 fase, yaitu fase pertama “tesis” yang melahirkan lawannya “antitesis” sebagai fase kedua, dan penarikan kesimpulan sebagai fase ketiga, “sintesis” (Suyahmo, 2007). Ketiga fase tersebut mencerminkan sebuah gejala keberpihakan. Pada awal fase pertama menyangkut tentang berangkatnya fakta, kemudian penyangkalan, untuk diambil intisari dan pembahasan yang relevan. Relevansi ilmiah inilah yang berikutnya sangat mempengaruhi corak perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian harinya.

Dialektika juga ditemukan pada salah satu karya bangsa Indonesia yang ditulis oleh Tan Malaka (1897 – 1949). Madilog (agama, dialektika, dan logika) jauh lebih menekankan pada potensi manusia untuk mengamalkan kemampuan dialektikanya menuju sebuah potensi dalam membentuk bangsa Indonesia, terutama ketika saat itu (saat Madilog ditulis) merupakan masa perebutan kemerdekaan. Menurut Tan Malaka, setidaknya terdapat dua poin dalam rancangan berbangsa bernegara sebagai produk aplikatif dialektika. (1) Ekonomi Sosialis yang menekankan pada pemberontakan pada kapitalis di Indonesia yang merupakan upaya penyadaran terhadap kesengsaraan dan penderitaan bangsa. Selain itu (2) Negara Merdeka sebagai pencerahan untuk masyarakat Indonesia agar berangkat pada logika, melawan cara berpikir kuno, penuh mistik, dan yang masih dominan takhayul-takhayul (Islam. 2016).

Cara berpikir dialektika sangat penting bagi umat manusia. Terutama dalam menyusun segala macam ilmu pengetahuan dalam konsep-konsep yang sistematis agar dapat diterima serelevan mungkin. Bangunan kokoh ilmu pengetahuan tersebut dibangun oleh Hegel melalui perjuangannya dalam membentuk logika dialektika. Pada perkembangan tahap selanjutnya, termasuk geografi mengilhami logika berpikir Hegel untuk menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang mampu membentuk corak kehidupan manusia. Oleh karenanya dialektika menjadi penting, dan menjadi salah satu kajian menarik untuk mengembangkan wawasan berpikir manusia.

  Geografi menurut Claudius Ptolomaeus (90 - 168) adalah suatu penyajian melalui peta dari sebagian dan seluruh permukaan bumi. Terdapat suatu upaya dalam geografi untuk menguraikan suatu fenomena agar kemudian dituangkan pada peta sebagai wujud representatif. Proses menguraikan dan merepresentasikan sebuah fenomena tersebut berkembang sepanjang zaman sesuai dengan kaidah-kaidah dialektika.

Tokoh penting lain dalam geografi adalah Strabo (64 SM – 24). Sebagai salah satu founding father ilmu geografi, Strabo menjelaskan tentang pentingnya ilmu geografi untuk kemajuan umat manusia. Pengantar geografi menurut Strabo setidaknya ditujukan pada arsitek dan insinyur yang merencanakan sebuah pembangunan kota. Deskripsi keruangan saat itu ditujukan pada perhatian khusus pada (1) astronomi dan geometri, (2) penjelasan pada bentuk, (3) penjelasan pada jarak antar dua titik, (4) dan “climata” yang berhubungan dengan panas dan dingin. Selain itu Strabo juga menjelaskan tentang kegunaan arah mata angin, mulai dari utara ke selatan, dari Scythia dan Celtics menuju Ethiopia, mulai dari timur ke barat, dari India menuju Iberia. Menurut Strabo, batas-batas tersebut selalu menuju tepi daratan dan berhubungan langsung dengan oceanus.

Intelektualitas yang dimiliki oleh Strabo, tidak lain karena Strabo merupakan petugas administrasi Kerajaan Romawi, untuk membuat kontrol konseptualitas kerajaan, dan memberikan akuntabilitas pemerintahan. “Geografi Strabo adalah hasil refleksi pra-okupasi seluruh masa hidupnya, ketika dunia mengalami perubahan menuju sebuah keselarasan pemahaman universal” (Clarke. 1997, dalam Peck. 2017). Maka geografi dunia tempat manusia tinggal tidak lagi dipandang sebagai sebuah proses mitos, melainkan tatanan teknis yang terdiri dari berbagai gejala dan fenomena di dalamnya.

Hal menarik lainnya dari kutipan Strabo adalah perubahan kondisi geografis pada suatu region tidak berhenti pada region tersebut melainkan pengaruh yang lebih luas di seluruh dunia. Lay out setiap segmen regional menjadi pola sistematis untuk keperluan analisis komparatif, menuju universalisme yang ideal sepanjang oikoumene (Dueck. 2000, dalam Peck. 2017). Oikoumene sendiri merupakan dunia yang diketahui saat itu yang mencakup teritori Kerajaan Romawi maupun teritori lain. Berawal dari konsep Yunani, orbis terrae atau terraum yang diartikan sebagai “seluruh dunia yang diketahui” yang digambarkan pada peta.

Seluruh penjelasan tersebut dapat ditemui dalam Geographika yang dikarang oleh Strabo, ditambah dengan penjelasan tiap region. Terdiri dari 17 buku yang terdiri dari: (1) definisi dan sejarah geografi; (2) matematika geografi; (3) semenanjung Iberia; (4) Gaul, Britain, Ireland, Thule, the Alps; (5) Italia ke campania; (6) Italia selatan, Sicily; (7) Eropa Utara, Eropa Timur, dan Eropa Tengah, (8) Yunani, (9) Yunani Regional; (10) Yunani Regional II, (11) Don Russia Timur, Transcaucasus, Iran Barat Laut, Asia Tengah; (12) Anatolia; (13) Aegean Utara; (14) Aegean Timur; (15) Persia, Ariana, dan Subkontinen India; (16) Timur Tengah; dan (17) Afrika Utara.

Dapat disimpulkan bahwa, dari uraian karya Strabo tersebut terdapat usaha pencerahan Geografi sebagai bidang ilmu yang aplikatif dan mampu menjamin kemajuan umat manusia. Disamping kegiatan politik yang dijalankan oleh Kerajaan Romawi, yang tentu saja memberikan kesempatan kepada Strabo untuk menjelajahi wawasannya dan memberikan fondasi kepada geografi sebagai bidang ilmu yang besar pada kemudian hari. Terakhir dapat  disimpulkan bahwa Strabo memiliki sebuah kerja keras dalam mengsegmentasi region/ wilayah pada sebuah pemahaman dan mental spasial. Produknya berupa Geographica yang tidak hanya sebuah acuan berdirinya ilmu geografi, namun juga mengilhami dan sebagai inisiasi dimulainya era spasialisasi.

Kembali pada Hegel, mengenai dialektikanya. Bertitik tolak dari idealisme Hegel mengenai Yang Absolut (das Absolute), sebagai yang tidak hanya dipahami sebagai absolut melainkan dirinya yang memikirkan dirinya sendiri. Was vernunftig ist, das ist wirklich; und was wirklich ist, das ist vernunftig (semua yang rasional itu real dan semua yang real itu rasional). Hal ini menegaskan bahwa alam tidak lain adalah kebenaran subyektif dan sekaligus obyektif. Dalam waktu yang sama memberikan pengetahuan kepada manusia melalui proses berpikir. Proses berpikir sendiri adalah realitas itu sendiri, yang merupakan suatu proses menyadari dirinya sendiri. Alam menjadi sesuatu yang memungkinkan kesadaran manusia, dalam kesadaran manusia Yang Absolut itu mengatasi alienasinya atau dengan kata lain, mengenali dirinya kembali (Hardiman, 2007).

Berikutnya, dalam usaha berpikir (usaha untuk menunjukkan realitas), kenyataan adalah “proses dialektis”. Berangkat dari “dialog” sebagai proses dialektis untuk mencari tahu kenyataan, melalaui tesis, antitesis, dan sintesis. Sintesis tidak hanya sekedar peniadaan, pembatalan, dari kedua oposisi karena munculnya sintesis membuat tesis dan antitesis menjadi tidak berlaku. Bangkitnya sintesis beroposisi dengan tesis dan sintesis, dan disimpan ke taraf yang lebih tinggi, sebagai kebenaran yang diangkat (aufgehoben) masih dipertahankan. Bisa dibilang sintesis merupakan produk penting yang mempelajari yang Absolut yang mengenali dirinya kembali. Secara ringkas: (1) tesis (logika) mempelajari Yang Absolut “pada dirinya”; (2) antitesis (filsafat Alam) mempelajari Yang Absolut “bagi dirinya”; (3) sintesis (fisafat Roh/ fenomenologi Roh) mempelajari yang Absolut “pada dan bagi dirinya” (Hardiman, 2007).

Usaha dari Strabo, merupakan proses berpikir logis, disamping perdebatan dengan kondisi alamiah, dan tentu saja proses penyadaran pada dirinya sendiri. Menarik, karena baik Strabo maupun Hegel menggunakan pendekatan sejarah sebagai konsentrasi dalam mengembangkan bidang keilmuannya masing masing. Geographica memberi sumbangan tersendiri dalam sejarah pertumbuhan geografi, karena Strabo telah membuat sintesis pengertian geografi, korografi (chorography) dan topografi. Dengan perhatiannya pada adanya variasi kultural antara tempat-tempat di muka bumi, pada dasarnya ia juga memelopori pendekatan regional dalam kajian geografinya (Suharyono & Amien. 1994).

 Usaha Strabo tersebut tentu memiliki kesenjangan dengan yang dilakukan oleh Hegel mengenai pengetahuan Yang Absolut. Akan tetapi secara definitif memiliki kesamaan dalam menaruh fondasi awal sebuah ilmu pengetahuan yang berikutnya berkembang pada zamannya masing-masing.

Bila membedah isi dalam Geographica sebagai hasil sintesis, terdapat temuan kombinasi kultural, lingkungan, historikal, ekonomi, dan kualitas organisasi. Sistematika-sistematika tersebut diangkat (aufgehoben) sebagai pengetahuan yang dirinya sendiri menyadari realitasnya. Disamping manusia yang memiliki kemampuan kognitif tersebut. Karakteristik-karakteristik tersebut kemudian dirangkum dalam satuan region pada bentang alam tempat manusia tinggal. “Thus, the study of world realms also provides the opportunity to examine the concepts and ideas that form the basis of the modern field of geography” (Sehingga, studi mengenai dunia juga memberikan oportunis untuk mengkaji konsep dan ide yang membentuk basis dari studi geografi).  (De Blij, & Muller. 1988).
   
Dari semua macam konsep yang sudah ada, setidaknya ada 3 konsep kunci dalam geografi yang terdiri dari: (1) identifikasi, (2) klasifikasi, dan (3) analisis region. Regionalisasi menjadi faktor umum yang digunakan oleh geografer sebagai klasifikasi atau taksonomi (De Blij, & Muller. 1988).

Perkembangan geografi tidak terlepas pada fondalisme dan postfondalisme, serta sikap dualisme dalam geografi. Fondalisme merupakan segala macam upaya yang dilakukan oleh para peletak batu pertama ilmu geografi, termasuk Strabo dan postfondalisme yang dilakukan oleh geograf modern yang saling menguji teori dan beradu argumen sebagai upaya sadar dialektis yang menciptakan pamahaman baru ilmu geografi. Jadi, setidaknya dialektika bisa berfungsi sebagai awal diciptakan sebuah pemahaman dan proses logika sintesis, lalu dialektika pada waktu yang sama mengiringi perkembangan suatu ilmu pengetahuan termasuk geografi.

Sikap dualisme mencerminkan sebuah keberpihakan setiap geograf dalam membuat sintesis, mana yang lebih penting dalam bidang kajiannya yang memberikan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebagai contoh adalah dualisme kuantitatif dan kualitatif. Kedua paradigma penelitian tersebut memiliki fokus dan faktor penelitian yang berbeda satu sama lain namun tidak terlepas dari tujuan awal untuk mencari sebuah kebenaran dan pengetahuan.

Pengetahuan kini, tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang absolut yang dipaksakan untuk masuk ke dalam diri manusia, melainkan sebuah proses pembantaian argumen dan saling merobohkan untuk mempertanyakan realitas yang ada. Proses pengetahuan bukan proses egois, melainkan proses sosialisasi dengan manusia lain untuk saling memberikan pencerahan dan penyadaran mengenai berbagai perspektif dalam hidup pada suatu realitas.

Geografi menjadi salah satu ilmu yang tertua pada diri manusia, telah berkembang dan senantiasa untuk tidak tinggal diam dalam suatu rak dogma yang memiliki kecenderungan untuk statis. Melainkan kita sebagai geograf harus kritis terhadap kondisi alam sebagai oportunistik mengenai apa yang bisa kita lakukan, dan yang terbaik bagi manusia itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

De Blij. H., & Muller P.O., 1988. Geography Regions and Concepts. John Wiley & Sons Inc,
Hardiman F.B., 2007. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietszche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Islam M.F., 2016. Pemikiran Politik (Madilog) Tan Malaka menuju Kemerdekaan Indonesia. El-Banat: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan islam Vol 6 No 2,
Peck H., 2017. The Treatment of Empire, Civilization and Culture in Strabo Geography. Atlas vol 15,
Savenije H.H.G., 2015. Panta Rhei, the New Science Decade to IAIHS. Hydrological Science and Water Security: Past, Present, and Future. Proceeding to the 11th kovacs Colloquium, Paris, France, June 2014).
Suharyono, & Amien M., 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Suyahmo. 2007. Filsafat Dialektika Hegel: Relevansinya dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Humaniora No 2 vol 19,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[LISIGER MEI] : Mengenang Kembali Jasa Pantograf Yang Hampir Terlupakan

Mengenang Kembali Jasa Pantograf Yang Hampir Terlupakan Oleh : Salsabila Pantograf adalah alat yang berfungsi untuk memperbesar atau memperkecil sebuah peta atau gambar. Dengan menggunakan alat ini, seseorang dapat mengubah ukuran peta sesuai dengan ukuran yang diinginkan. (Sumber: Koleksi penulis, 2006). Pantograf berbahan dasar potongan kayu berbentuk persegi panjang yang masing-masing potongan disatukan dengan baut. Cara membuatnya tidak sulit dan bahan-bahannya mudah kita temui di pasaran. Pertama-tama yang kalian lakukan ialah menyiapkan alat dan bahannya yaitu, empat batang kayu (dua batang kayu a dan b berukuran panjang 50 cm, dan batang kayu c berukuran 30 cm dan batang kayu d berukuran 20 cm), tiga buah baut, amplas, kuas, pernis, bor kayu, dan dua buah pensil. Selanjutnya cara pembuatan yang pertama ialah tandai setiap ujung kayu dengan jarak 1 cm, kemudian lubangi kayu dengan bor kayu. Amplas kayu agar lebih halus. Selanjutnya, panaskan kayu dengan api kecil ...

[LISIGER OKTOBER] Mengenal Lebih Dalam Kesenian Debus Asal Banten

Penulis : M. Gendra Mahdavikia - Geografi 2016 Pernahkah kalian mendengar atau melihat kesenian Debus? Apasih itu Debus? Debus merupakan kesenian bela diri yang berasal dari Banten. Kesenian ini mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, misalnya kebal terhadap   senjata tajam, kebal terhadap air keras, dan lain- lain. Kesenian Debus merupakan kesenian yang dikombinasikan dengan seni tari, seni suara dan kebatinan yang bernuansa penuh magis. Dan dewasa ini kesenian debus biasanya dipertunjukkan sebagai pelengkap upacara adat, upacara magis dan untuk hiburan masyarakat. Pemain Debus merupakan pertunjukan seni secara berkelompok dengan jumlah pemain sebanyak 12 sampai 15 orang, yang masing-masing mempunyai tugas sebagai berikut: 1. 1 orang juru gendang 2. 1 orang penabuh tembang 3. 2 orang penabuh dogdog tingtit 4. 1 orang penabuh kecrek 5. 4 orang sebagai penzikir 6. 5 orang pemain atraksi 7. 1 orang sebagai syekh     ...

[LISIGER AGUSTUS] Mengenal Morelia Viridis dari Timur Indonesia

Penulis : Rian Ariyanto - Geografi 2016 Sumber foto : imgur.com Green Tree Python / GTP ( Morelia Viridis ) atau yang biasa dikenal dengan nama Chondro banyak terdapat di Papua, Papua Nugini & Australia. Ular GTP masih satu keluarga dengan ular python lainnya, meskipun ia merupakan ular pohon hijau tapi GTP tidak berbisa. Ular GTP tinggal di habitat yang lembab dan bagian tropis yang hangat. GTP termasuk satwa yang mulai langka di tempat asalnya karena penghancuran habitat, perdagangan kulitnya & diburu untuk makanan dan obat kulit. Ular GTP sudah masuk kategori Apendiks II oleh CITES ( Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ). Seperti kebanyakan ular pohon, GTP memangsa binatang pengerat dan unggas kecil. GTP dewasa berukuran panjang hingga 2,1 meter untuk spesimen yang besar, sedangkan untuk spesimen yang medium, GTP bisa mencapai panjang 1.8 meter. Chondro suka bergulung di pohon, melingkarkan diri dengan kuat di cabang po...